pengelolaandanadesa

pengelolaandanadesa

Jakarta, Humas LIPI. Keberadaan dana desa diharapkan bisa memberikan kesempatan kepada masyarakat desa untuk mengembangkan desanya. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia kembali menerbitkan Buku dari hasil studi pengelolaan dana desa.  “Tim Kajian Desa, Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI pada 2018 telah menyelesaikan hasil studi dan mengemasnya menjadi sebuah buku, yang bisa menjadi masukan kepada pemerintah dalam mengambil keputusan tentang desa”, ujar Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan LIPI,Tri Nuke Pudjiastuti, dalam webinar bedah buku ‘Pengelolaan dana desa, studi dari sisi demokrasi dan kapasitas pemerintahan desa”, pada Rabu, (23/09).

Nuke Menjelaskan, pada 2017 tercatat jumlah desa tertinggal menurun17 persen menjadi 7.941. Jumlah desa berkembang meningkat 10 persen menjadi 58.313 desa, dan desa mandiri bertambah 7 persen menjadi 7.839 desa. “Akan tetapi, di samping cerita menggembirakan, tidak sedikit permasalahan yang masih mengemuka menyangkut pengelolaan dana desa. Salah satunya merebaknya kasus penyimpangan dana desa. Satu per satu kepala desa dan/atau aparat desa tersangkut kasus korupsi dana desa”, tambahnya. 

Peneliti utama P2P LIPI, R. Siti Zuhro, menyebutkan UU No. 6 Tahun 2014 membuka ruang otonomi bagi desa untuk mengelola keungan sendiri melalui pemberian dana desa.  “Ada tiga alasan pemberian dana desa” tegasnya. Yaitu: Pertama, memberikan akses dan kesempatan bagi desa untuk menggali potensi sumber daya alam yang dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan desa, dengan tetap memperhatikan ekologi pembagunan berkelanjutan. Kedua, memberikan bantuan kepada desa berdasarkan peraturan yang berlaku. Ketiga, memfasilitasi capasity building baik aparatur desa maupun masyarakat.

Profesor riset ini mengatakan, dinamika pemberian dana oleh pemerintah pusat ke desa-desa di seluruh Indonesia, dalam rangka memajukan kesejahteraan dan pembangunan desa banyak menimbulkan masalah. “Setidaknya dicatat tiga hal terkait munculnya fenomena korupsi dana desa”, imbuhnya. Zuhro merinci: (1). Terdapat kelemahan kapasitas kepala desa dan perangkat desa dalam mengelola dana desa; (2).  Pemberian dana desa dalam jumlah besar tanpa diikuti dengan penguatan komunitas dan kelembagaan demokrasi desa; (3). Kesulitan pemerintah dalam melakukan pengawasan pengelolaan dana desa.

“Ukuran kesejahteraan rakyat seharusnya merujuk pada data desa. Tetapi, data menunjukkan bahwa desa semakin ditinggalkan rakyat.  Indikasi tersebut secara jelas memperlihatkan bahwa kehidupan di desa semakin sulit. Hal itu juga tercermin dari jumlah penduduk miskin desa yang hampir dua kali lebih besar daripada kota.”, dijelaskan Zuhro lebih lanjut.

Sebagai informasi, Buku setebal 262 halaman, terdiri dari 6 bab, Bab 1. Pengelolaan Dana Desa: Catatan Pendahuluan; Bab 2. Pembangunan Desa di Tiga Negara: Perspektif Perbandingan; Bab 3. Eksperimen Demokrasi Desa: dari Demokrasi Liberal ke Deliberatif; Bab 4. Praktik Demokrasi dan Pengelolaan Dana Desa di Desa Tanjungsari; Bab 5. Praktik “Buruk” Demokrasi dan Pengelolaan Dana Desa di Desa Harumsari; Bab 6. Catatan Penutup.  Survei dilakukan di daerah Majalengka, Jawa Barat dan Sidoarjo, Jawa Timur, pada 2018.

Zuhro menyebutkan, terbitnya buku ini, berharap dari beberapa rekomendasi yang tetulis dapat menjadi bahan pemikiran dan rujukan oleh pemangku kepentingan untuk memperbaiki pengelolaan dana desa, agar kesejahteraan masyarakat dan kedaulatan desa bisa terwujud.  “Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) akan menjadi lebih kuat bila ditopang oleh kedaulatan rakyat serta kemandirian lokal baik daerah dan desa”,tutup Zuhro. (swa/ed:mtr)