Jakarta, Humas LIPI. Potret fenomena sosial tergambar dalam sinopsis dari suatu kejadian atau peristiwa kehidupan sosial, Kejadian terkait kerusakan lingkungan di area pertambangan, adalah contoh fenomena sosial, bila ditinjau dari sisi riset sosial perlu pengumpulan data secara detail bukti-bukti yang ada di lapangan. “ Sehingga mudah untuk menyimpulkan dalam menyelesaikan masalah dalam konteks kerusakan lingkungan di area pertambangan. Pengamatan ini tidak cukup satu atau dua hari berada dilapangan”, tutur Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan LIPI, Tri Nuke Pudjiastuti, dalam webinar “Research Based Policy” pada Sabtu (19/9) lalu.
Nuke menerangkan, penelitian sosial dan humaniora penekanannya pada analisis yang disesuaikan dengan konteks peristiwa. Memotret dan menganalisis fenomena sosial harus sesuai dan ada pendekatan yang dipakai. “ini bukan hanya fenomena sosial tetapi juga fenomena budaya, yang mana data empiris dan pengolahan analis menjadikan faktor penting di dalam penelitian”, ujar Nuke.
“Kemudian bagaimana menempatkan proses formulasi yaitu menempatkan masalah pada konteksnya atau suatu hal yang sering kali suka salah seperti agenda setting dan konteksnya, maka generalisasi itu terjadi. Sebagai contoh seorang kriminologi mengatakan pencopet tidak jahat karena mencopet atau menjadi jahat terpengaruh dari lingkungannya. Sementara, perspektif orang hukum mengatakan tidak bisa ketika melakukan kejahatan maka dia berarti orang jahat. Konteks ini terdapat sudut pandang atau paradigm yang berbeda”, tegas Nuke.
Paparan dari Nuke, menegaskan apabila sebuah penelitian tidak mempunyai kerangka framework yang jelas, pasti hasilnya akan apa saja dimasukan dan menjadi keranjang sampah. “Hal Ini merupakan kebiasaan kita belum evidence based policy dan belum menjadikan budaya. Kalaupun itu menjadi budaya ada persoalan yang lebih serius yaitu tidak ada data dasar yang akurat meskipun ada kebijakan satu data di Indonesia”, imbuhnya.
Lanjut Nuke, dengan menjelaskan pondasi perubahan kebijakan menjadi paradigma yang dibangun di kedeputian IPSK LIPI, bahwa hasil-hasil penelitian apakah itu sifatnya basic, fronted, dan apakah itu sifatnya action atau pengembangan pada dasarnya merupakan pondasi perubahan kebijakan. Berbicara pondasi, itu bisa saja terus dibangun dan dikembangkan menjadi sebuah bangunan atau hanya menjadikan sebuah pondasi saja, artinya itulah sebuah inovasi,
Penelitian yang dikerjakan Kedeputihan IPSK LIPI difokuskan pada program pemerintah ‘Prioritas Riset Nasional’(PRN), mendesainnya diawali dengan pematangan konsep dan diakhiri dengan evidence riset for policy. Di dalam melaksanakan penelitian PRN, telah dilakukan pendampingan bersama dengan mitra di bawah koordinasi Kementerian Riset dan teknologi/ Badan Riset dan Inovasi Nasional (Kemenristek/BRIN) yang anggotanya dari Lembaga atau Perguruan Tinggi dan lembaga masyarakat. “Sekarang sudah tidak jamannya lagi lembaga melakukan penelitian sendiri, harus membangun kolaborasi untuk bisa mempunyai pengaruh dalam proses penyusunan legislasi dan perubahan kebijakan, pungkas Nuke. (suhe/ed:mtr)