Jakarta, Humas LIPI. Konflik separatism, kekerasan komunal, merupakan fenomena yang dialami oleh negara-negara di Asia Tenggara. Bagaimana rekonstruksi pendekatan dalam kajian konflik di Asia Tenggara, Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cahyo Pamungkas menyampaikan tentang beberapa konflik yang dialami di negara-negara Asia Tenggara. “Negara-negara di Asia Tenggara mengalami konflik separatisme atau pemisahan diri, kekerasan komunal yang biasanya konflik skala luas antar kelompok identitas baik itu agama maupun etnis, maupun konflik laten, ini adalah konflik yang tidak termanifestasi secara nyata,” ujarnya dalam Webinar dan Launching 100 Ilmuwan Sosial Politik LP3ES, pada Jumat (30/10).
Dalam acara yang mengusung tema ‘Resolusi Konflik di Tingkat Nasional dan Daerah’ tersebut, Cahyo menyebutkan beberapa contoh konflik yang terjadi di Asia Tenggara antara lain konflik berbasis agama di Indonesia yang terjadi dalam kurun waktu 1999-2004. Hal tersebut menurutnya menjadi sebuah tanda belum meredanya konflik komunal di Asia Tenggara. “Paska 2006, konflik bergeser menjadi persekusi terhadap minoritas dan intoleransi keagamaan,” ungkap Cahyo.
Lebih lanjut, Peneliti Pusat Penelitian Kewilayahan LIPI tersebut menyampaikan bahwa konflik berbasis identitas bukan disebabkan oleh agama atau komunitas, namun karena ekosistem, “Konflik berbasis identitas digerakan oleh ekosistem, misalnya adalah perasaan terancam dalam persaingan politik, sosial budaya, distrust, kurangnya interaksi antar kelompok dan adanya ethno/religio-centrism, yaitu sebuah paham yang menganggap agamanya atau etnisnya adalah yang paling baik dari yang lain,” tambahnya. Profesor riset tersebut juga menyampaikan bahwa dalam satu dekade ke depan, Indonesia akan menghadapi dua persoalan terbesar, yaitu intoleransi keagamaan dan konflik Papua.
Menyoroti konflik Papua yang juga belum reda hingga saat ini, Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI Aisyah Putri menyampaikan lebih spesifik mengenai kemungkinan penyelesaian konflik di Papua melalui dialog. Ia menyebutkan, LIPI telah menemukan ada 4 masalah yang menjadi akar konflik di Papua yang telah diteliti sejak tahun 2009. “Empat akar konflik di Papua, yaitu marjinalisasi dan diskriminasi, kegagalan pembangunan, sejarah dan status politik Papua, serta kekerasan negara dan pelanggaran HAM. Sejak dirumuskan LIPI pada tahun 2009 sampai saat ini keempat akar masalah tersebut masih belum berubah,” jelasnya.
Putri menekankan pentingnya melakukan dialog di Papua untuk dilakukan pendekatan yang lebih kompleks dan inklusif melibatkan semua pihak aktor konflik, komprehensif, dan sesuai agenda bersama, sehingga legitimasi dan komitmen menjadi kuat. Dirinya meyakini bahwa pemerintah Indonesia sangat mungkin mampu mengadakan dialog sebagai penyelesaian konflik di Papua. “Mungkinkah? Menurut saya mungkin karena pemerintah memiliki pengalaman dan menjadi inisiator dialog, selain itu orang Papua juga secara kultural telah lama menjalani dialog,misalnya saat perdamaian perang suku, semua melalui pembicaraan,” ungkapnya. “Tapi mungkinnya ini tentunya dengan syarat adanya komitmen yang kuat dari pemerintah dan para aktor konflik di Papua dan dialog ini mulai dipersiapkan saat ini,” pungkasnya. (rm/ ed: drs)