Jakarta, Humas LIPI. Melambatnya ekonomi merupakan satu dari berbagai imbas penyebaran Covid-19 yang menjadi fokus perhatian. Namun, ada imbas lain yang penting untuk diperhatikan, di antaranya adalah tantangan demokrasi dan keamanan suatu negara.

Covid-19 mengubah kebiasaan dan perilaku masyarakat. Dalam segi politik, pandemi menciptakan regulasi-regulasi baru dan cara pikir pemerintah serta masyarakat di level lokal maupun global. Covid-19 juga mengubah demokrasi parlemen, partai politik, elektoral dalam melaksanakan fungsi mereka. Sebagai negara demokrasi, Indonesia perlu berhati-hati dalam mengambil kebijakan terkait pandemi tanpa mengurangi nilai demokrasi.

”Beberapa keputusan dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam menangani pandemi tak jarang dianggap kontradiktif dengan nilai demokrasi dan kebebasan masyarakat. Indonesia, harus menyadari tantangan ini,” ujar Tri Nuke Pudjiastuti, Deputi Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), saat membuka International Virtual Seminar: Facing Current Challenges on Democracy, Peace and Security, pada Kamis (7/1).

Hingga saat ini, demokrasi dianggap sebagai sistem politik yang maju, namun tak bisa dipungkiri bahwa demokrasi masih memiliki banyak celah tantangan yang besar. Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI, Firman Noor, dalam penelitiannya yang berjudul “Pandemic Covid-19 and The Challenge for Democracy: Indonesia Case” menunjukkan bahwa data dari Economy Intellegent Unit menunjukan adanya stagnansi qualitas demokrasi dalam 10 tahun terakhir, dari 5.55 pada 2018 menjadi 5.44 pada 2020.

Pembatasan yang dibuat pemerintah untuk masyarakat atas nama keamanan, memicu asumsi banyak orang bahwa pemerintah berupaya memusatkan kekuasaan, termasuk dalam pengambilan keputusan, yang dapat digunakan untuk kepentingan politik. “Salah satu asumsi paling dikenal adalah bahwa demokrasi saat ini sedang ditunggangi oleh oligarki dan pihak anti-demokrasi. Sehingga mereka memanipulasi proses demokrasi untuk memperkuat keberadaan dan kepentingan pribadi mereka,” papar Firman Noor.

Pada beberapa negara, pandemi telah memperkuat kuasa otoritas pada masyarakat. Mereka lebih ketat dan menggunakan pendekatan autrokasi dengan menggunakan kebijakan top-down absolut. Namun beberapa negara juga sukses mengimplementasikan nilai demokrasi dalam penanganan pandemi. Seperti Jerman, Norwegia, Finlandia, Taiwan, dan Korea Selatan. Negara-negara tersebut memperhatikan kebutuhan masyarakat dan berdiskusi dengan ilmuwan serta komunitas dalam proses pengambilan keputusan. Pemerintah dan masyarakat berusaha mencari solusi yang dapat dilakukan bersama.

“Negara-negara tersebut merupakan contoh bagaimana demokrasi dapat menyelesaikan masalah jika mekanisme demokrasi benar-benar dijalankan,” kata Firman Noor.

Firman menjelaskan, Covid-19 membuat kebiasaan baru dan meningkatkan kesadaran pada banyak hal. Namun karakteristik pemerintah dan kemampuan memerintah lah yang memberikan lebih banyak imbas dalam mempertahankan keberadaan demokrasi dan politik secara luas, dibandingkan keberadaan pandemi sendiri.

”Konsistensi pemerintah dalam menerapkan demokrasi sangat diperlukan. Terutama dalam menjaga kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan demokrasi itu sendiri. Tak lupa, konsistensi pemerintah dalam menjalankan protokol Covid-19 sangat dibutuhkan, karena hanya dengan cara itu, dukungan masyarakat terhadap keputusan pemerintah akan efektif,” tutup Firman. (sr) 

Sivitas Terkait : Dr. Tri Nuke Pudjiastuti M.A.