Jakarta – Humas BRIN. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) telah melaksanakan pengalihan SDM penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan (litbangjirap) Kementerian/Lembaga (K/L) menjadi pegawai di lingkungan BRIN. Proses ini sebagai tindak lanjut dari Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2021 tentang BRIN.
Kemendikbud merupakan salah satu K/L yang SDM litbangjirapnya dialihkan ke BRIN. Kepala Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora BRIN, Ahmad Najib Burhani mengatakan, Tri Dharma Perguruan Tinggi memiliki tiga poin utama yaitu pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, serta pengabdian kepada masyarakat.
Sedangkan di BRIN mencakup tugas Eka Darma yang memproduksi pengetahuan. Jika pengetahuan yang diproduksi bagus, maka akan menjadi referensi yang baik untuk mengambil kebijakan.
Dengan beralihnya SDM litbangjirap Kemendikbud, maka suplai basis ilmuwan dari kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah terutama pendidikan akan dilakukan BRIN. Dimana BRIN yang menjadi penyuplai dari pengetahuan akan berkoordinasi untuk memenuhi permintaan Kemendikbud dalam melakukan kajian seperti RUU Diknas dan Kurikulum merdeka belajar. Hal ini dikatakan Ahmad Nadjib Burhani dalam webinar Seminar Riset Desain Rumah Program Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora, pada Kamis (10/03) lalu.
Najib mengatakan, seorang peneliti memiliki tanggung jawab yang banyak pada kebijakan, mulai akademik, policy paper, dan advokasi ke masyarakat. Masukan policy brief atau policy paper tidak selalu atau harus dipakai oleh pemerintah yang terkait kebijakan hukum, pendidikan dan agama.
Adakala, tutur Najib, kebijakan yang terkait pendidikan, hukum dan agama, bisa saja dipengaruhi oleh opini yang ada di koran atau media, telepon dari seorang tokoh, pressure dari ormas tertentu, dan bisa juga ditentukan oleh oligarki tertentu, dan sebagainya.
“Strategi yang bisa kita lakukan menjadi penting dan mempengaruhi kebijakan tanpa harus secara kasat mata memperlihatkan pemberian naskah kebijakan dari kita dan sebagainya,” ungkap Najib.
Dirinya juga mengajak peneliti secara bersama-sama mem-frame-kan penelitian tidak hanya untuk kepentingan K/L yang sebelumnya, tetapi menjadi sesuatu yang lebih dengan melakukan leapfrog (lompatan katak). Sehingga, K/L akan melihat yang sebelumnya kajian tidak diakui oleh dunia, setelah diakui oleh masyarakat yang lebih global, maka K/L akan merujuknya.
Lebih lanjut, Najib mengemukakan tentang leapfrog (lompatan katak) dalam penelitian. Pertama, peneliti di BRIN mencoba untuk me-leapfrog atau ‘lompatan katak’ bukan dalam bentuk policy paper atau policy brief terkait tentang pendidikan, agama, hukum dan sebagainya. Akan tetapi, memberikan landasan yang solid dari segi keilmuan, seperti diadopsinya oleh sebuah publikasi yang kredibel. Sehingga, apa yang ditulis akan bisa sampai ke masyarakat dan tidak dipandang hanya sebelah mata.
“Dan itulah kadang kita harus melakukan lompatan, kadang kala ada beberapa yang sebetulnya awalnya tidak dilirik, ketika itu menjadi wacana global itu menjadi sebuah referensi yang penting untuk dibaca bagi pemerintah,” terang Najib.
Kedua, peneliti harus dapat melakukan leapfrog, dengan cara fokus pada satu hal yang secara serius dilakukan, sehingga pandangan peneliti jadi didengarkan. Basisnya adalah solid, pemikiran yang kokoh, dan landasan atau dasar argumennya kuat, diantaranya sudah diakui oleh reviewer tentang apa yang dikembangkan oleh peneliti. Jadi bukan hanya dibaca oleh pengambil kebijakan, tetapi juga diakui di dunia akademik.
Ketiga, peneliti pendidikan perlu menjadi penyuplai dari pengetahuan yang terkait dengan hal-hal atau kajian-kajian.
Keempat, peneliti bersifat independensi. Saat ini karakternya ketika dalam melakukan penelitian bukan lagi orientasinya perintah untuk yang nantinya menjadi dasar kebijakan. Namun melakukan penelitian secara bebas, melihat persoalan secara bebas, independen dalam memberikan masukan. Hal ini bisa terlihat dari banyak temuan atau penelitian yang berkaitan dengan pendidikan menghasilkan karya besar dalam konteks global, seperti temuan tentang SD Inpres yang meraih Nobel.
Kelima, peneliti bersifat manfaat. Najib mengibaratkan, dengan hanya perlu menemukan secuil mutiara atau secuil emas maka tidak harus sebongkah emas atau berlian di dalam penelitiannya. Kalau ada sesuatu di dalam penelitian yang ditemukan, maka tuliskan walaupun secuil emas, menjadi sebuah kontribusi yang bermanfaat bagi masyarakat.
“Jadi kita tidak dibebani oleh sesuatu yang sebongkah emas. Misalkan bila kita melakukan sesuatu hal kecil yang serius maka nantinya akan mendapatkan manfaatnya dan dilihat sebagai referensi oleh orang-orang atau negara lain, dan sebagainya,” ungkap Najib.
Keenam, peneliti dalam konteks penelitian agama, dan dalam konteks nasional di Indonesia. Najib menuturkan, selama sila pertama tetap Ketuhanan yang Maha Esa, tidak mungkin penelitian tentang agama tidak mendapatkan tempat di Indonesia.
Dan“Selama lebih dari 90 persen penduduk Indonesia adalah umat beragama, tidak mungkin kita tidak melakukan penelitian tentang agama, dan agama itu bagian dari detak jantung dari bangsa kita,” kata Najib.
Dalam kajian agama, banyak sekali khasanah keilmuan atau mutiara yang terkait pendidikan tersebar di negeri ini yang bisa diangkat. Misalkan, di pesantren, metode dulu mengaji alquran berbulan-bulan. Tetapi dengan ditemukan metode iqro maka mengaji jadi lebih mudah, dan temuan tentang mutil-mutil alquran (berwarna-warni) yang tidak bisa ditemukan selain di Indonesia termasuk di Amerika. Sehingga, penelitian agama mendapatkan tempat yang penting di dalam konteks BRIN atau nasional.
Ketujuh, peneliti harus me-frame-kan penelitian agama tidak harus dengan menggunakan nomenklatur agama, karena tempatnya itu secara umum setiap nadi atau darah dari pada bangsa kita. Dalam khasanah agama, di banyak tempat ada beberapa penelitian agama berkaitan dengan halal karena bagian dari teknologi.
Kedelapan, peneliti untuk membaca hukum tidak lagi dalam konteks sebagai kebijakan, tetapi sesuatu dinamika akademik, seperti kajian tentang pruralisme hukum.
Wilayah dari pada hukum, yang peneliti lihat dalam konteks internasional dengan mengkaji Indonesia yang sangat luas.
Jadi frame kita perlu sedikit swig dari sekedar memberikan masukan kebijakan perbuatan hukum, akan tetapi ketika membaca tentang hukum yang ada di indonesia, melihat juga paradigma umum tentang hukum dalam konteks internasional. “Kajian hukum tidak hanya dengan kaca mata melihat-nya dengan produk-produk perundangan di dalam negeri, tetapi melihatnya menjadi sesuatu yang bermakna secara nasional atau golbal,” pungkas Najib. (suhe/ed:drs, tnt).