Jakarta – Humas BRIN. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Pusat Riset Masyarakat dan Budaya (PMB), melaksanakan Forum Diskusi Budaya (FDB), Senin (09/05), sebagai salah satu bentuk misi PMB di bidang ilmu pengetahuan. FDB Seri 36 kali ini mengupas buku berjudul “Kuasa Rahim: Reposisi Perempuan Asia Tenggara Periode Modern Awal 1400-1800”, karya Barbara Watson Andaya dari Universitas Hawaii.

Pada kesempatan FDB ini, Lengga Pradipta peneliti BRIN, bertindak sebagai pembahas buku yang terdiri dari 7 bab. Isu tentang perempuan sekitar tahun 1400-1800 secara mengejutkan tidak banyak dibahas oleh para sarjana. Prof. Barbara Watson Andaya telah memilih jalur yang tepat, untuk memberi kita sejarah dinamika perempuan, yang akan sangat bermanfaat bagi masyarakat.

Lengga mengatakan, pada Bab 1 tentang Perempuan dan Asia Tenggara, menyoroti tentang keberadaan perempuan di Asia Tenggara. Mulai dari lanskap geokultural dan topografi, menggambarkan Laos, Thailand, dan Burma sebagai perhatian utama. Terlebih, ketika ketiga wilayah ini mempengaruhi budaya India dan Cina.

”Kompleksitas sejarah antara Cina, India, dan negara-negara berpengaruh lainnya, memberikan kontribusi yang lebih besar bagi Asia Tenggara. Baik untuk budaya, agama, bahkan status perempuan,” paparnya.

Lengga melanjutkan, di dalam Bab 2 tentang Modernitas Awal, Sumber, dan Sejarah Perempuan, menggali lebih dalam tentang perempuan dan masalah sub ordinasi di Asia Tenggara. Pada tahun 1950 an, kepemimpinan perempuan dapat dilihat di desa-desa, di Burma. “Sayangnya, karena situasi histografis dan sosial politik saat itu, beberapa kelompok menentang kepemimpinan perempuan,” terang milenial yang melanjutkan sekolah di Institute of Asian Studies – University of Brunei Darussalam (UBD).

Bab 3, tentang Perempuan dan Perubahan Agama, melihat lebih dalam, tentang dinamika keyakinan dan agama dalam konstruksi gender. Perempuan memegang peran yang sangat penting dalam agama. Baik Islam, Kristen, Buddha, Hindu, bahkan Konghucu. “Pada periode modern awal di Asia Tenggara, sistem etika dan agama diekspos sangat dominan, yang menegaskan otoritas bagi laki-laki. Bagi perempuan, jika ingin melakukan kegiatan keagamaan atau praktek budaya, mereka memerlukan persetujuan laki-laki,” beber Lengga.

Selanjutnya, pada Bab 4, Perempuan dan Perubahan Ekonomi, Lengga mengungkapkan, perempuan tampil sebagai pihak yang dapat menguasai ekonomi, dan perdagangan di Asia Tenggara. Ketika pedagang Cina dan Eropa datang ke Asia Tenggara, perempuan menjadi sangat dominan untuk melakukan interaksi komersial, dengan para pedagang tersebut. ”Di sisi lain, ketika perempuan lebih banyak terlibat dalam aktivitas perkotaan dan Pelabuhan, maka prostitusi dan objektifikasi perempuan, tidak dapat dihindari,” tambahnya.

Dijelaskan Lengga, pada Bab 5 tentang Negara Bagian, Subjek, dan Rumah Tangga, saat penjajahan menduduki  beberapa daerah di Asia Tenggara. Menggambarkan bagaimana pemerintahan adat, dibentuk pada abad ke-16. Ketika Spanyol mendarat di Philipina, dan perusahaan Hindia Timur Belanda, menduduki beberapa wilayah pesisir Asia Tenggara. “Situasi ini memberikan dampak yang besar, terhadap dinamika kependudukan. Terutama ketika laki-laki memiliki dominasi penuh, dalam bidang sosial politik,” terang Lengga.

Lebih jauh Lengga menyebutkan, pada Bab 6 tentang Perempuan, Pengadilan, dan Kelas, mengangkat isu konstruksi gender di kalangan elit. Di Vietnam, Burma atau bahkan Jawa di Indonesia, perempuan dengan sopan santun dan kemampuan literasi yang baik, selalu menjadi panutan masyarakat. “Hal ini yang menjadi titik kritis, pada gagasan hubungan setara perempuan dan laki-laki. Sayangnya, hanya berlaku untuk kalangan elit,” ungkapnya.

Bab ini juga membahas tentang perkawinan lintas budaya di negara-negara Asia Tenggara, misalnya putri Champa menikah dengan orang Vietnam, dan harus menyesuaikan hidup mereka. Kemudian, seorang perempuan Khmer yang harus mengadopsi budaya Siam. “Artinya, status seorang perempuan dapat memberikan otoritas pada mereka. Berdampak pada dinamika budaya, dan perbedaan bahasa,” papar Lengga.

Bab terakhir pada buku ini, yaitu Bab 7 tentang Menjadi Perempuan pada Periode Awal Modern di Asia Tenggara, mengeksplor lebih jauh tentang perempuan, dan dirinya sendiri. Baik saat fase menstruasi, pernikahan, persalinan, menopause, bahkan penuaan. “Perempuan bisa sangat dihormati, jika mereka memiliki status sosial yang baik, dan tinggi. Mereka juga dapat dengan mudah dituduh, sebagai penyihir atau pelacur. Bahkan perempuan yang diceraikan, dengan mudah dipinggirkan dalam masyarakat,” tutup Lengga. (ns)