Jakarta – Humas BRIN.There’s beauty in everything, even in silence and darkness”. Kutipan dari Helen Keller ini menjadi pembuka bagi Sharing Session #5 berjudul “Kajian Dark Tourism di Lawang Sewu” yang disajikan oleh Siti Hamidah, peneliti dari Pusat Riset Kewilayahan Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRK – BRIN), Rabu (25/5).

“Keindahan dalam kegelapan” ini juga nampak dalam pariwisata, setidaknya itu yang tersirat dari pemahaman “Dark tourism”. “Kita akan merasakan esensinya jika kita berkunjung ke destinasi dark tourism,” kata Hamidah.

Istilah dark tourism menjadi suguhan wisata yang tampil beda. Dalam paparannya, Hamidah menjelaskan, istilah ini pertama kali dikenalkan oleh John Lennon dan Malcolm Foley dalam International Journal of Heritage Studies yang terbit pada tahun 1996. Mereka membuat definisi yang sampai sekarang masih dipakai dan menjadi dasar bagi pengembangan dark tourism di dunia. “Karena lingkupnya yang sangat luas, maka para akademisi membuat tipologi-tipologi dark tourism, seperti Disaster tourism, War Tourism, Cemetery tourism, Ghost tourism, dan lain-lain,” ujarnya. Ke depannya, diharapkan peluang pengembangan dark tourism dapat merujuk juga pada tipologi lainnya.

Di sisi lain, siapa yang tidak kenal Lawang Sewu? Destinasi wisata ini tidak hanya populer di Semarang tapi juga di Indonesia dan Asia. Popularitas Lawang Sewu lebih banyak ditemukenali sebagai salah satu destinasi wisata yang menyeramkan dan berhantu. Lawang Sewu pernah meraih predikat sebagai “10 Most Haunted Places in Asia” versi Rojak Daily (2016) dan “7 Scariest Haunted Places in Asia” versi FMT News (2019). Selain itu, Lawang Sewu juga menjadi lokasi Uji Nyali acara Dunia Lain pada tahun 2013 dan menjadi inspirasi bagi cerita film “Lawang Sewu: Dendam Kuntilanak” yang ditayangkan pada tahun 2007. Terlepas dari kisah-kisah mistis tersebut, Lawang Sewu merupakan destinasi wisata heritage khususnya terkait perkeretaapian di Indonesia.

Ketertarikan Hamidah pada Lawang Sewu menjadikan destinasi wisata di Semarang ini sebagai lokus kajian pertamanya mengenai dark tourism pada tahun 2020. “Lawang Sewu merupakan kombinasi menarik antara heritage tourism dan dark tourism. Lain waktu, bisa dikembangkan pada lokus yang berbeda,” imbuhnya.

Lebih lanjut Hamidah menjelaskan bahwa nampaknya dark tourism belum dilirik sebagai wisata yang potensial untuk dikembangkan. Padahal dalam PP No. 50 Tahun 2011, disebutkan wisata memorial (dark tourism) sebagai produk wisata yang dapat dikembangkan di Indonesia. “Peluang pengembangan dark tourism nampaknya ada titik cerah saat Menteri Pariwisata, Sandiaga Uno berbincang dengan Sarah Wijayanto dalam laman IG-nya tahun lalu tentang tempat-tempat wisata bersejarah yang juga berkesan mistis,” lanjut Hamidah.

Transformasi Lawang Sewu dari Kantor Jawatan Perkeretapian menjadi destinasi dark tourism turut dipengaruhi oleh faktor sejarah, khususnya dialihfungsikannya ruang bawah tanah sebagai penjara bagi tawanan perang. Lawang Sewu telah direstorasi pada tahun 2011. “Sejak itu, pihak pengelola mulai sering menyelenggarakan event dan lebih banyak sosialisasi tentang heritage di Lawang Sewu,” ungkapnya.

Diakhir paparannya, Hamidah mengajak peserta Sharing Session untuk berdiskusi lebih lanjut. Pertama, apakah perlu menghilangkan “kesan menakutkan” dari Lawang Sewu? Kedua, apakah dark tourism dapat dijadikan wisata alternatif di Indonesia. Kemudian terbetik juga sebuah pertanyaan, dapatkah dark tourism ini menjadi wisata alternatif yang potensial untuk dikembangkan di Indonesia. “Mungkin dua pertanyaan inilah yang dapat kita diskusikan lebih lanjut terkait dengan dark tourism,” kata Hamidah. Hal senada disampaikan Plt. Kepala Pusat Riset Kewilayahan Fadjar I. Thufail, menurutnya tema-tema seperti ini belum dikelola dengan baik, walaupun sebenarnya publik banyak yang tertarik. Dark tourism juga dapat menjadi trauma-healing sekaligus pembelajaran. “Sebenarnya publik sendiri sudah banyak yang tertarik terhadap hal-hal seperti ini, namun kenapa di Indonesia hal ini belum begitu dikelola dengan baik,” imbuh Fadjar. (arial/ed: and)