Jakarta – Humas BRIN. Riset-riset yang terkait dengan agama lokal dan juga peradaban kini menjadi penting. Mengapa? Di dalam produksi pengetahuan, riset-riset sudah pasti menghasilkan temuan-temuan baru, termasuk konsep – konsep baru terkait isu agama lokal dan peradaban. Selain itu, riset sering disebut menjadi bagian dari sebuah kebijakan. Wacana tersebut disampaikan Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra (OR Arbastra) BRIN, Herry Yogaswara dalam sambutannya pada Bincang Khazanah #2, Selasa (31/5). Kegiatan yang diselenggarakan Pusat Riset Khazanah Keagamaan dan Peradaban (PR KKP) ini mengangkat tema Agama Lokal dan Peradaban Orang Jawa.
“Di dalam kehidupan kesehariaan kita, beberapa daerah masih saja terjadi gesekan terhadap keberadaan agama lokal, kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa, dan sebagainya,” ujar Herry. Ia yang juga menjadi Anggota Tim Koordinasi Advokasi terhadap penghayat kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa dan masyarakat adat, mengungkapkan riset seperti ini sangat dibutuhkan untuk mendapatkan data-data empirik terhadap problem-problem yang ada di masyarakat Indonesia.
“Bukan hanya itu, misalnya dalam pertemuan-pertemuan seperti ini. Kami biasanya mengamati, kira-kira siapa yang ahli tentang agama lokal yang ada di wilayah Jawa. Jika kami ada masalah dengan hal tersebut, maka kami sudah ada narasumber ahlinya,” akunya memberi alasan tentang manfaat kegiatan dilaksanakan.
Menurutnya, untuk melakukan riset, BRIN menjalin relasi dengan berbagai institusi. Jadi kegiatannya tidak hanya untuk periset BRIN, namun juga terbuka luas bagi para periset di luar BRIN. Begitu pula banyak skema-skema pendanaan yang sebagian besar bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak lain, khususnya perguruan tinggi.
Ia mengatakan ekosistem riset di BRIN memang luas, terdiri dari pusat – pusat riset yang multidisiplin. Sebagai contoh, selain ada OR Arbastra, ada juga OR Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (IPSH). Berdirinya pusat riset di BRIN didefinisikan berdasarkan arah fokus kegiatan risetnya. “Contohnya, jika riset tentang khasanah keagamaan, maka kita akan bertemu dengan banyak agama-agama selain Islam, dan ini menjadi menarik untuk kemudian diteliti. Di sini juga ada pusat riset terkait agama dan kepercayaan, moderasi agama, dan sebagainya,” ujarnya.
Menurutnya, kesamaan arah riset yang serumpun dapat diwadahi ke dalam kolaborasi riset. “Di dalam ilmu sosial seringkali terdapat irisan-irisan yang tidak terhindarkan, yang penting jangan terjadi tumpang tindih atau gesekan. Ini yang perlu kita hindari!” tegasnya.
Masyarakat Jawa juga menyadari keterbatasan akal manusia, sehingga menjadikan mereka percaya bahwa misteri, keunikan, serta rahasia alam semesta tidak dapat dijangkau dan diungkap. Dandung Yuwono, Peneliti PR KKP BRIN membuka paparan dengan menyampaikan pemikiran tersebut. Maka, tak heran jika mereka mencari ‘jalan lain’ dalam memahami kehidupan dengan melakukan ritual-ritual tertentu.
Paparannya yang berjudul Transformasi Spiritual Masyarakat Jawa Kontemporer (Reinterpretasi Makna Ritual di Parangkusomo), mengangkat tentang kehidupan masyarakat Jawa yang penuh dan lekat dengan dunia mistis. Mereka sangat meyakini alam, selain dihuni makhluk yang terlihat juga yang nir-tampak (halus) yang satu sama lain saling berhubungan dan membutuhkan dalam menjaga keseimbangan alam.
Ia memberi contoh salah satu ritual yang dilakukan pada setiap Malam Selasa Kliwon (SK) dan setiap Malam Jumat Kliwon (JK) di Petilasan Parangkusumo. Daerah ini dianggap sebagai tempat pertemuan Panembahan Senopati (Raja Mataram Islam Pertama) dengan Nyai Ratu Kidul, sosok makhluk halus berkekuatan sakti, penguasa laut selatan. Masyarakat Jawa meyakini bahwa Nyai Ratu Kidul memiliki kekuatan gaib yang dapat memberikan ketenteraman. “Ritual tersebut merupakan perwujudan mitos yang mendarah daging tentang keberadaan Kanjeng Ratu Kidul, yang sulit dilepaskan dari kehidupan mereka sehari-hari,” papar Dandung.
Dalam konteks ini, tampaknya unsur Islam turut mewarnai orang Jawa dalam melakukan ritual di Parangkusumo. Hal ini terindikasi dengan adanya makam Syekh Maulana Maghribi yang berada di Parangkusumo. Masyarakat Jawa yang sudah mengenal Islam, datang ke tempat tersebut, hanya ingin melihat petilasan pertemuan antara Raja Mataram dengan Ratu Kidul. Indikasi lain, dipergunakannya hari Selasa Kliwon (bertepatan dengan hari Senin) dan hari Jumat Kliwon (hari Kamis). Di situ diyakini, dalam tradisi Islam pada hari-hari ini disunahkan untuk berpuasa sebagaimana dilakukan Nabi Muhammad saw.
Dadung mengatakan, orang Jawa penganut agama Islam kejawen, tidak terlampau patuh menjalani kewajiban sebagaimana diajarkan Islam. “Meskipun agama orang Jawa merupakan varian agama Islam Jawa. Hanya terhadap hal-hal yang memiliki kesamaan kebiasaan sajalah yang mereka lakukan, seperti menjalankan puasa Ramadhan, karena dianggap sama dengan melakukan tirakat,” jelasnya.
Banyak kajian-kajian tentang ritual malam SK dan JK, khususnya berkait dengan mitos Nyai Ratu Kidul sudah dilakukan. Tetapi, kajian-kajian selama ini tidak fokus pada proses dan pemaknaan ritual malam SK dan JK itu sendiri. “Untuk melihat bagaimana pengetahuan lokal (local knowledge) mampu menggabungkan konsep Jawa dengan Islam, maka perlu dilakukan kajian terhadap perilaku masyarakat Jawa yang unik dan Islam sebagai agama besar,” sarannya.
Kegiatan ini juga menghadirkan pembicara lainnya, seperti peneliti PR KKP, Muh. Isnanto, yang memaparkan Praktik Beragama dan Kearifan Lokal Masyarakat Jawa di Andong, Boyolali. Hadir juga Sosiolog UIN Sunan Kalijaga, Ahmad Zainal Arifin yang memaparkan Muslim Jawa Berdamai dengan Corona.
Kepala PR KKP, Wuri Handoko menutup acara dengan menyampaikan, pada intinya kita semua bisa memaknai kekayaan khazanah keagamaan dan relasinya dengan pengayaan kebudayaan dengan lebih dinamis. Sebagaimana ia contohkan Daerah Boyolali dan Parangkusumo, dari kearifan lokalnya bisa dilihat bagaimana representasi dari kekayaan relasi, kebudayaan dan agama. Bagaimanapun juga, lahirnya agama bersamaan dengan lahirnya sebuah peradaban. Banyaknya ritual-ritual keagamaan yang berhubungan dengan tradisi-tradisi lokal, kearifan lokal, dan adat istiadat masyarakat di wilayah nusantara. “Pengetahuan ini menjadi pemikiran awal dari kita semua yang selama ini banyak bergerak di wilayah tanjibel budaya-budaya benda. Tentu banyak yang kita pikirkan, kita tindak lanjuti, dan dapat kita kembangkan di riset-riset mendatang,” pungkas Wuri. (trs, arial/ed: and)