Jakarta – Humas BRIN. Di dalam Undang-Undang Dasar 1945, terkandung makna “negara berdasar atas ketuhanan Yang Maha Esa (YME)” serta “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu”. Dari dasar hukum tersebut ada enam agama yang diakui di Indonesia dan ada warga yang menganut kepercayaan terhadap Tuhan YME. Hal ini disampaikan Aji Sofanudin, Kepala Pusat Riset Agama dan Kepercayaan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada kegiatan diskusi tentang Penyusunan Ensiklopedi Keragaman Kepercayaan Nusantara, di Jakarta, Selasa (07/06).
Aji mengatakan, penyusunan ensiklopedi ini diharapkan bisa berlanjut, baik rutin secara mingguan atau bulanan. BRIN siap untuk mengawal secara substansi atau proses. Ini bisa menjadi leading sector. Hal itu untuk mengawal dan meramu dari berbagai informasi tanpa analisis atau opini dari tim. Betul – betul murni alias apa adanya data yang di dapat dari lapangan.
Menurutnya, penyusunan Ensiklopedi Keragaman Kepercayaan Nusantara bertujuan untuk melaksanakan program Pusat Riset Agama dan Kepercayaan, yang merupakan rumpun dari Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial Humaniora (IPSH). Penyusunan ensiklopedi sudah pernah ditulis atau dilakukan oleh Kemendikbud tahun 2004.
Sedangkan saat ini, dimaksudkan untuk mengulang penulisan ensiklopedi dengan memperbaharui data dan informasi, serta untuk mengetahui seberapa besar penganut Kepercayaan Terhadap Tuhan YME, sumber ajaran, dan perkembangan dari kepercayaan tersebut. Selain itu, bahwa penyusunan ensiklopedi ini juga untuk meningkatkan penyediaan bahan informasi data tentang persebaran penganut Kepercayaan Terhadap YME di Indonesia.
Sependapat dengannya, Peneliti Pusat Riset Agama dan Kepercayaan, Wakhid Sugiyarto, dalam paparannya menyebutkan agama, kepercayaan, dan tradisi keagamaan itu ada yang berasal dari luar ataupun lokal Indonesia. Agama dari luar misalnya Islam, Kristen, Hindu, Budha, Yahudi, Sikh, Bahai, Jainisme, Khonghucu, dan sebagainya. Sementara dalam hal kepercayaan lokal kita mengenal Parmalim (Tobasa), Ugamo Bangsa Batak (Tapanuli Utara), Pargebu (Hindu Karo), Marapu (Sumba), Sei Baba (Jawa Barat), Agama Jawa (Kejawen) dan sebagainya. Ada juga yang unik, yaitu kepercayaan yang seperti didasarkan pada ajaran Islam atau setidaknya diinspirasi oleh ajaran Islam, seperti Islam Tua (Sangir talaut), Islam Ma’rifat (Haruku), Islam Wetu Telu (Lombok), dan sebagainya.
Lebih jauh Wakhid mengutarakan ada juga agama yang merupakan oplosan dari beberapa keyakinan yang minta diakui sebagai agama, yaitu Tri Dharma. Ini merupakan campuran dari Budha, Tao, dan Khonghucu. Oplosan yang dimaksud, setidaknya bisa melaksanakan ritual dalam satu rumah ibadah.
Dari adanya berbagai agama dan kepercayaan lokal yang terus hidup di kalangan masyarakat itulah, akhirnya kita mengenal istilah agama yang diakui (agama resmi) dan tidak diakui (tidak resmi). Hal itu sebenarnya merupakan kosakata salah kaprah dalam sistem perundangan kita. Sebab agama dan kepercayaan terhadap Tuhan YME sesungguhnya tidak memerlukan pengakuan dari manapun.
Sejarah mencatat, istilah agama diakui muncul pertama kali ketika masyarakat Bali Hindu minta diakui sebagai agama di tahun 1950-an. Sementara pemerintah waktu itu membuat persyaratan khusus terhadap sebuah kepercayaan untuk diakui sebagai agama resmi dan mendapat pelayanan negara.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Presidium I DMP-MLKI, Engkus Ruswana menegaskan, terminologi kepercayaan termuat dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, yang merupakan usulan Wongsonagoro dalam sidang PPKI. Sebelum tahun 1970an, disebutkan dengan istilah aliran kepercayaan/ kebatinan dan/ atau kerohanian/ kejiwaan. Sedangkan nomenklatur Kepercayaan Terhadap Tuhan YME muncul di GBHN sejak tahun 1973-1978, yang tergabung dalam bidang Agama.
Disampaikan Engkus, di dalam PP Nomor 37 tahun 2007 menyebutkan kepercayaan terhadap Tuhan YME adalah pernyataan dan pelaksanaan hubungan pribadi dengan Tuhan YME, berdasarkan keyakinan yang diwujudkan dengan perilaku ketaqwaan dan peribadatan terhadap Tuhan YME, serta pengamalan budi luhur yang ajarannya bersumber dari kearifan lokal bangsa Indonesia. Sedangkan di dalam PP tersebut dikatakan, penghayat kepercayaan Terhadap Tuhan YME selanjutnya disebut penghayat kepercayaan. Termasuk, setiap orang yang mengakui dan meyakini nilai-nilai penghayatan kepercayaan terhadap Tuhan YME.
Kepercayaan leluhur nusantara sebagai animisme dan dinamisme, serta sebagai bangsa primitif dilestarikan melalui penulisan sejarah dan catatan-catatan perjalanan para pelaut bangsa Eropa. Hal tersebut hingga kini masih dianut, dipercaya, dan dijadikan rujukan oleh intelektual bangsa Indonesia. “Tidak terpungkiri bahwa pluralisme menjadi salah satu ciri khas identitas nusantara. Pemeluk agama-agama di Indonesia memiliki sifat terbuka menerima pengaruh dari luar sehingga memperkaya identitas keagamaannya,” ujarnya. Menurut Engkus, Indonesia berbeda dengan negara lain yang cenderung begitu ketat untuk menerima pengaruh dari luar. (suhe/ed: and)