Jakarta – Humas BRIN. Aspek pendanaan riset disabilitas sudah seharusnya memudahkan akses bagi para periset di bidang tersebut. BRIN sebagai lembaga yang memayungi kegiatan riset memberi peluang ke berbagai pihak, termasuk universitas dan organisasi masyarakat sipil. “Sudah selayaknya kita memahami pola pendanaan yang dikompetisikan. Hal ini sebagai upaya menjaga standar kualitas dan arah riset yang ditargetkan, pola itu pula yang juga dilakukan di lingkungan universitas,” tegas Tri Nuke Pudjiastuti, Peneliti sekaligus Ketua Komite Nasional Indonesia untuk Program Management of Social Transformation (MOST), dalam Pra-konferensi III MOST-UNESCO Indonesia.

Selasa (21/6), BRIN kembali menyelenggarakan kegiatan Prakonferensi yang pada tahapan ke-3 ini membahas tema “Pendanaan Riset Disabilitas Sebagai Bagian dari Riset Nasional”. Melalui Komite yang dibentuk BRIN ini, Nuke menjelaskan Langkah – Langkah strategisnya tentang Penelitian Disabilitas (PD) dengan penyusunan roadmap agenda riset nasional. “Penelitian Disabilitas (PD) diharapkan menjadi acuan isu riset yang tepat sasaran, agar hasil riset itu tidak seperti anak panah yang melesat ke udara dan bukan sekadar berakhir pada jurnal, tetapi memberikan kebermanfaatan bagi bangsa,” tuturnya.

Hal tersebut berkaca pada pencapaian 17 tujuan SDGs tahun 2030, yang jika dihitung mundur tinggal 8 tahun lagi. Sejak 2015, telah ditentukan dalam sidang umum bahwa 17 tujuan SDGs haruslah berperspektif disabilitas. Salah satuny, upaya keras pemerintah pusat untuk membuat peraturan-peraturan turunannya, telah tercapai 20% peraturan daerah yang berperspektif disabilitas. Pencapaian tujuan tersebut akan dapat terlaksana dengan baik apabila semua elemen bangsa dapat memberikan perannya, tanpa kecuali akademisi, periset dan pengkaji.

Nuke menyoroti masih minimnya periset di pemerintah, swasta, maupun organisasi masyarakat sipil dan universitas yang fokus pada isu penyandang disabilitas. Di samping itu juga, riset-riset disabilitas memiliki kebutuhan dana yang berbeda pada proses risetnya. Seperti halnya, juru bicara isyarat atau penerjemah tulisan braille maupun pendampingan bagi disabilitas mental yang tidak bisa dipertanggungjawabkan dalam satuan biaya masukan (SBM).

Direktur Pendanaan Riset dan Inovasi BRIN, Ajeng Arum Sari berpendapat, di dalam UU Nomor 19 Tahun 2011 telah diatur Pengesahan Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Penyandang disabilitas adalah orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental, serta intelektual atau sensorik dalam jangka waktu lama. Di mana, di dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat menemui hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak.

“Kondisi saat ini terkait riset disabilitas di Indonesia belum ada kebijakan riset untuk Penyandang Disabilitas maupun keterlibatan penyandang disabilitas dalam suatu kegiatan riset,” imbuhnya. Menurutnya, belum ada program riset dengan target luaran khusus untuk membantu aktivitas penyandang disabilitas. Di samping itu, perlu ada kajian/ bahasan tentang pembuatan kebijakan terkait disabilitas agar dapat berkolaborasi dengan beberapa program riset yang ada di BRIN.

Dikatakan Ajeng, upaya yang dapat dilakukan BRIN dalam skema fasilitasi riset melalui kajian kebijakan penyandang disabilitas yang menjadi salah satu topik/tema khususnya pada kegiatan riset sosial humaniora. Sedangkan target luaran dari kegiatan riset dapat menghasilkan produk/ alat dan/atau infrastruktur/ sarana prasarana yang dapat dimanfaatkan langsung untuk membantu memudahkan kegiatan penyandang disabilitas.

Putut Hari Satyaka, Direktur Anggaran Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Kementerian Keuangan menuturkan, anggaran bersifat inklusi untuk memastikan fungsi distribusi APBN, yang dapat diterima dampaknya oleh seluruh lapisan masyarakat. APBN terus didorong untuk dapat menjangkau seluruh warga negara Indonesia, di antaranya dengan reformasi perlindungan sosial (penyempurnaan perlinsos sepanjang hayat, bansos lansia dan konsesi disabilitas), perlinsos adaptif, serta perlinsos pemberdayaan.

Putut berpendapat, anggaran inklusif bukanlah sebuah proses yang terpisah dari sistem yang sudah ada. Ini bukan pula mengenai penyusunan rencana dan anggaran khusus untuk kelompok rentan tertentu. Anggaran inklusif bukanlah tujuan akhir, melainkan merupakan sebuah kerangka kerja atau alat analisis untuk mewujudkan keadilan dalam penerimaan manfaat pembangunan. Anggaran inklusif lebih pada aspek memperhatikan kebutuhan, permasalahan, aspirasi, pengalaman berbagai kelompok rentan, serta memberi manfaat yang adil kepada semua pihak.

Sementara, Slamet Thohari, Peneliti Universitas Brawijaya mengutarakan bahwa penelitian yang Inklusif akan mendorong kebijakan yang Inklusif. Disabilitas adalah masalahnya di semua isu, seperti sosial humaniora, sains dan teknologi terapan, dan lain sebagainya. Sisi lain yang menjadi perhatian yaitu Difabel sebagai peneliti atau kolaborasi antara difabel dan non difabel. Maka, Difabel yang sedang melakukan penelitian memiliki kebutuhan khusus untuk menjalankan penelitiannya. “Hal ini bagaimana dalam memberikan anggaran pembiayaan tersebut,” pungkasnya. (suhe/ed:and)