Surabaya – Humas BRIN. Salah satu cara memperkuat pertahanan negara adalah dengan mengeluarkan kebijakan Minimum Essential Force (MEF). Kebijakan MEF ini lahir sebagai respon dari adanya perubahan dalam tataran regional, perkembangan ancaman dan lingkungan strategis yang semakin dinamis. Adapun awal mulanya, kebijakan MEF digagas oleh pemerintah sejak 2007 dan mulai dijalankan pada tahun 2009.

“Namun demikian, target dalam pelaksanaan program pemenuhan alutsista MEF (tahap III) tidak tercapai. Oleh karena itu, kami ingin mengevaluasi sebenarnya apa yang terjadi dan apakah kebijakan MEF ini akan dilanjutkan atau dihentikan,” jelas Gerald Theodorus L. Toruan, Koordinator Fungsi Hankam BRIN, saat membuka Focus Group Discussion (FGD), di BRIN Kawasan Surabaya, Rabu (22/06).

FGD dengan tema Strategi Pertahanan Indonesia 25 Tahun ke Depan (Evaluasi Minimum Essential Force/MEF), diselenggarakan oleh Tim Peneliti bidang Pertahanan dan Keamanan, Direktorat Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan, Deputi Bidang Kebijakan Pembangunan, Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN). FGD ini diselenggarakan dalam rangka kajian Kebijakan Minimum Essential Force (MEF) yang diikuti oleh beberapa perwakilan entitas, yaitu Instansi Pemerintah (TNI AD, AL, dan AU), Akademisi (Dosen), dan Industri (PT PAL).

Letkol Inf. Baharuddin, Kodam V Brawijaya, menyampaikan bahwa perkembangan global dan perkembangan regional akan sangat mempengaruhi kebijakan-kebijakan ke depan. MEF merupakan kekuatan Trimarta terpadu TNI. MEF ini bagian dari sistem manajemen Hannerg yang terdiri dari unsur-unsur SDM, material alutsista TNI, SDA & SDB, Pangkalan, Rahlat & Prasarana Nasional. Semuanya harus ada sinkronisasi dan saling berkisanambungan. “Kebijakan MEF telah berpengaruh secara signifikan terhadap organisasi dan peningkatan kekuatan Kodam V Brawijaya,” tutur Baharuddin.

Kolonel (P) Budi Santosa, Koarmada II, mengungkapkan bahwa munculnya MEF ini untuk menghadapi berbagai ancaman hankam yang muncul, namun dengan anggaran yang terbatas.  Kekuatan personil militer Armada II jumlahanya sekitar 80 persen. Jumlah ini termasuk ideal tetapi untuk personil di wilayah Lantanal hanya sekitar 31 persen.

Sementara itu, sampai Juni 2022, tercatat hanya 70 persen untuk personil pengawasannya. Selain ancaman yang terkait hankam, terdapat ancama bencana yang juga membutuhkan kapal besar seperti kapal rumah sakit. “MEF ini sudah dibangun dari awal, sehingga diharapkan dapat berlanjut sampai 25 tahun ke depan,” imbuh Budi Santosa.

Kolonel (Pnb) M. Apon, Komandan Lanud Muljono, turut menyampaikan bahwa berdasarkan wilayah kerja, Lanud di Jawa Timur terbagi menjadi tiga yaitu Iswahyudi, Abidin Saleh, dan Muljono. Berdasarkan aspek personil agregat, jumlah personil melebihi persentase Angkatan Udara. Meskipun demikian, alutsista tidak berada di bawah komando secara langsung. “Secanggih apapun alutsista yang digunakan tetap tergantung pada personil yang mengoperasikan. Oleh karena itu, bukan hanya berbicara mengenai alutsista pertahanan saja melainkan investasi SDM ke depan perlu dipikirkan dan diperhitungkan dengan baik,” tutup Apon.

Chabibi, perwakilan PT. PAL, menuturkan bahwa saat ini PT. PAL fokus pada pembuatan kapal perang dimana ini merupakan efek dari kebijakan MEF. Adapun tugas pokok dari PT. PAL adalah mendukung alutsista pertahanan laut. “Dukungan Industri pertahanan terhadap kebijakan alutsista indonesia adalah kemandirian industri pertahanan dalam produksi alutsista di dalam negeri dan multiplier efek dalam bidang ekonomi dan teknologi dalam negeri,” jelas Chabibi.

Dr. Edi Suhardono, Dekan FISIP Universitas Hangtuah, menjelaskan mengenai ancaman potensial di Kawasan Indo Pasifik, Cina. Latar belakang kemakmuran dengan memberikan bantuan ekonomi tapi terdapat dampak nilai tawar yang harus dibayarkan. Indonesia berada di persimpangan jalan antara hard dan soft power.

“Terkait pengadaan kapal harus tetap mengedepankan interoperabilitas TNI. Selain itu, perlu diperhatikan untuk masalah penganggaran dalam pemeliharaan alutsista. Contohnya, semakin tua kapal, maka biaya pemeliharaan semakin besar,” jelas Edi Suhardono. Edi juga menambahkan bahwa kebijakan yang baik adalah kebijakan yang mengakomodir kepentingan masyarakat dengan disertai payung hukum yang jelas. Dalam penutupannya di akhir FGD, Gerald Theodorus L. Toruan, mengatakan bahwa output dari penelitian ini adalah berupa naskah kebijakan yang berisi rekomendasi bagi kebijakan Minimum Essential Force. (aml/ed: sao)