Jakarta – Humas BRIN. Pusat Riset Pendidikan (PRP) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) kembali menyelenggarakan kegiatan diskusi yang membahas tentang riset pendidikan. Kegiatan ini dikemas dalam BRIN EduResearch Webinar Series, Rabu (21/09). Untuk seri ini memaparkan tema “Inclusive and Multicultural Education as The Basis for Sustaining Diversity”.
Kepala PRP, Trina Fizzanty, mengutarakan bahwa pusatnya memberi perhatian lebih pada riset-riset pendidikan multikultural dan inklusi. Kami ingin semakin banyak masyarakat dari berbagai latar belakang dapat menikmati pendidikan yang berkualitas.
Menurutnya, pendidikan Inklusi itu bukan sekadar membangun kesiapan fisik sekolah, tetapi yang lebih penting adalah mengubah persepsi berbagai pihak tentang keragaman latar belakang masyarakat sebagai kekuatan Indonesia.
Webinar kali ini menghadirkan pembicara, Hurriyet Babacan selaku Profesor dari Universitas of Queensland dan Sunardi selaku Profesor dari Universitas Sebelas Maret.
Hurriyet menyampaikan bahwa inklusi adalah tentang hal yang baru melalui pendekatan kualitatif sehingga orang tidak merasa dikucilkan. Inklusi ini menjadikan titik masuk dan keterlibatan untuk masyarakat rentan dalam pembentukan hubungan manusia.
Hurriyet, menjelaskan tantangan terbesar kemanusiaan ialah tantangan global yang signifikan dalam menghadapi perubahan iklim manusia, keanekaragaman hayati, penipisan, energi, ketahanan pangan, pasokan air, beban penyakit, pertumbuhan kemiskinan, ketidaksetaraan, hak asasi manusia, perdamaian dan kohesi sosial dan ketidakamanan/ketidaksetaraan ekonomi, pertumbuhan penduduk, dan penuaan populasi.
Hurriyet berpendapat, konsep keanekaragaman seperti lokasi sosial sebagai penanda identitas dan perbedaan yang menjadi penting dalam melakukan pemetaan ‘lokasi sosial’ seseorang (mengerti dislokasi). Dan juga pada posisionalitas, terkait berbicara dan melihat posisi keberadaan kita di dalam dunia. Serta interseksionalitas, di mana pendekatannya menekankan bahwa aspek identitas tidak dapat dibagi. Ini juga berbicara tentang ras, jenis kelamin, kelas dan lain-lain dalam kerangka isolasi satu sama lain untuk menghasilkan konkret yang lainnya.
Mengapa Inklusi Itu Penting? Menurutnya, pertama ada pada pertumbuhan ekonomi, meskipun orang tetap dikecualikan dari manfaatnya. Kedua, terletak pada ketimpangan struktural dan tetap adanya diskriminasi. Ketiga, pada konsekuensi perjuangan untuk status kesetaraan di ranah publik sebagai pengakuan hak dan atau identitas. Keempat, hak kewarganegaraan dan partisipasi dalam membuat pengambilan keputusan.
Pada kesempatan yang sama, Sunardi mengutarakan hal yang diperlukan dalam kebebasan belajar. Ia mengatakan, ada hal yang menjadi perhatian fleksibilitas guru untuk melakukan pembelajaran yang berdiferensiasi, berdasarkan kemampuan siswa dan muatan lokal. Memberikan fokus pada materi penting saja, lebih banyak waktu untuk memperkuat keterampilan berhitung dan literasi. Diperlukan pembelajaran berbasis proyek untuk mengembangkan soft skill dan karakter yang berprofil pancasila (toleransi keberagaman). Dan juga, perlu memperhatikan zonasi dengan prioritas untuk siswa lokal.
Sunardi melakukan survei terkait inklusi di lima sekolah dasar yang berada di wilayah Kabupaten Boyolali. Responden survei terdiri dari 5 kepala sekolah, 52 guru, 32 siswa dan 6 orang tua siswa penyandang disabilitas.
Hasil survei dari pandangan guru, bahwa guru memiliki persepsi positif dalam hal konsep, hak, harapan keragaman, kesediaan untuk membantu, sementara cenderung negatif dalam penempatan inklusif dan ramah lingkungan/ disabilitas. Persepsi berhubungan positif ada melalui pengalaman, pemahaman umum dan pemahaman tentang kebutuhan dan layanan khusus untuk jenis disabilitas tertentu. Akan tetapi hal itu berhubungan negatif dengan usia dan pengalaman kerja.
Untuk hasil pandangan dari siswa bahwa siswa menunjukkan sikap yang tepat terhadap teman sebaya mereka yang cacat. Skor yang lebih tinggi ditunjukkan pada aspek kognitif dan konatif. Sedangkan hasil pandangan dari orang tua bahwa orang tua memiliki harapan, sikap, dan penerimaan yang cukup terhadap anak difabelnya. Pengetahuan dan keyakinan terbatas tentang inklusif dengan penempatan eksklusif.
Hasil survei terkait kesiapan dari masing-masing sekolah diperoleh data bahwa aksesibilitas sekolah masih rendah. “Tidak ada sekolah yang dilengkapi dengan panduan pemblokiran, lereng, pejalan kaki, rambu untuk tunarungu, toilet khusus, serta parkir khusus. Tidak ada sekolah yang memiliki sumber dan alat bantu pengajaran untuk siswa dengan masalah pendengaran, masalah motorik, dan autis. Hanya satu sekolah yang memiliki sumber daya terbatas untuk siswa tunanetra, masalah intelektual, masalah perilaku, dan anak berbakat,” ungkap Sunardi.
Sunardi berpandangan tentang pemberian pengalaman penyandang disabilitas untuk semua guru, seperti kursus universitas, pelatihan, pengalaman lapangan penyandang disabilitas. Menurutnya harus melibatkan orang tua dalam diskusi tentang pendidikan dan penempatan anak-anak mereka. Guru perlu menggunakan pembelajaran berbasis proyek sehingga meningkatkan toleransi siswa terhadap keragaman. Aksesibilitas sekolah umum perlu ditingkatkan, dan aksesibilitas akademik dapat ditingkatkan dengan penyediaan perangkat pembelajaran khusus dan sumber daya untuk berbagai jenis disabilitas dan pelatihan guru. (suhe/ed:And)