Jakarta – Humas BRIN. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Pusat Riset Kesejahteraan Sosial, Desa, dan Konektivitas (PR KSDK) menyelenggarakan webinar berseri pada Selasa (17/01). Kepala PR KSDK, M. Alie Humaedi menyampaikan, dalam webinar perdana di tahun 2023 ini membahas tema “De Talks, Ngobrol Solusi dan Inovasi tentang Desa”.

Alie mengatakan, kegiatan ini membahas sains lingkungan dan perubahan sosial yang diambil dari beberapa pengalaman dari inisiatif perikanan berkelanjutan di Lampung. Seperti halnya, aspek-aspek yang bisa dikembangkan dalam pemberdayaan masyarakat dan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal itu selaras dengan visi besar yang diusung pusat risetnya untuk bisa melakukan afirmasi kesejahteraan sosial di tingkat desa. Maka perlu melakukan kolaborasi dengan lembaga manapun.

Alie Mengisahkan, pada era 80-an nelayan di Cirebon menangkap ikan, udang, dan lainnya cukup menggunakan peralatan yang sederhana dan mudah sekali diperoleh. Saat itu, di daerah ini dikenal dengan tradisi bawahan, yang merupakan migrasi dari wilayah Cirebon, Indramayu, Subang, dan sampai di Lampung, sebagai tujuan akhir dalam berlayar.

Lebih lanjut ia menuturkan, ketika di Lampung, nelayan menetap selama kurang lebih enam bulan. Selanjutnya mereka mengirimkan uang ke kampung halaman, setelah itu baru kembali pulang kampung membawa perahunya.

Kedekatan wilayah perikanan Cirebon dengan Lampung ini menjadi menarik. Mereka tidak melakukan pelayaran ke Jawa Timur, Sulawesi, atau lainnya, melainkan ke wilayah tersebut. Hal ini yang ingin digali para periset sehubungan dengan sains lingkungan dan perubahan sosial. Seperti halnya, bagaimana mendorong pelestarian ekologi yang dipandang dari sistem sosial kebudayaan masyarakat setempat.

Onesya Damayanti, Senior Specialist, Community Engagement Environmental Defense Fund, dalam paparannya mengatakan, lembaganya mempunyai visi mendorong perikanan berkelanjutan baik dari sisi kebijakan, sains atau keilmuan, dan masyarakat. Ketiga hal tersebut menjadi kunci penting perubahan sosial di masyarakat. Pada akhirnya, menurutnya, masyarakat nelayan yang akan mendapatkan manfaat atas perubahan pengelolaan perikanan lanjutan.

Onesya menyoroti rajungan yang menjadi komoditas ekspor penting bagi Indonesia. Komoditas ini bernilai ekspor terbesar ke empat dengan volume perdagangan relatif kecil  dibanding komoditas lain. Rajungan memiliki nilai $13,31 per kilogram. Berdasarkan data komoditas ekspor perikanan Lampung Tahun 2021, Rajungan memiliki nilai ekspor terbesar kedua setelah Udang dan volume ekspor ketiga setelah udang dan ikan beku. Hal tersebut karena rajungan diekspor dalam bentuk kalengan siap saji (ready to eat).

Tantangan pengelolaan perikanan Rajungan di Lampung, menurut Onesya, antara lain terancam akibat penangkapan yang berlebih (overfishing) dan penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Maka Rajungan kehilangan nilai ekonomi akibat pengolahan yang belum memenuhi standar mutu pengolahan perikanan. Termasuk juga adanya kendala akses permodalan untuk pengembangan usaha serta tata kelola perikanan rajungan berkelanjutan. Ia juga berpendapat, pendampingan secara intensif di masyarakat membantu meningkatkan pemahaman dan kesadaran untuk berkontribusi dalam pengelolaan  perikanan berkelanjutan. Untuk itu, proses intervensi program perlu dilakukan secara inklusif, tidak terbatas pada target stakeholder tertentu. Kepemimpinan dan kelembagaan yang kuat diperlukan dalam keberlanjutan untuk upaya perubahan perilaku. (suhe/ed: And)