Jakarta – Humas BRIN. Sebagai upaya dalam penanganan pemenuhan hak-hak pengungsi luar negeri yang transit di Indonesia, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Pusat Riset (PR) Politik menggelar Workshop daring bertajuk “Akses Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Ekosob) Pengungsi Luar Negeri saat di Indonesia sebagai Kelompok Rentan” pada Rabu (25/1).

Workshop ini terselenggara bekerja sama dengan United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), Jesuit Refugee Services (JRS), International Organization for Migration (IOM), dan Resilience Development Initiative Urban Refugee Research Group (RDI-UREF).

Kegiatan workshop seri #1 ini merupakan kick-off dari rangkaian kegiatan workshop seri dengan tema besar “Strategi Pemberdayaan Pengungsi Luar Negeri di Indonesia sebagai Peningkatan Solusi ke Negara Ketiga”. Diawali dengan sambutan pembuka oleh Kepala PR Politik BRIN, Atiqah Nur Alami, Perwakilan UNHCR Indonesia, Damla Buyuktaskin, dan Perwakilan IOM Indonesia, Josh Hart.

Menghadirkan pembicara dari Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Abdul Haris Almasyhari, Direktur Jenderal HAM Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Mualimin Abdi, Deputi Bidang Hak Perlindungan Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Ratna Susianawati, akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM), Yunizar Adiputera sebagai pembahas, dan peneliti PR Politik BRIN, Tri Nuke Pudjiastuti sebagai perangkum, serta Rafendi Djamin dari Human Rights Working Group (HRWG) sebagai moderator.

Tujuan utama dari pembahasan pada workshop ini adalah membangun pemahaman dan kesamaan persepsi terkait isu Hak Asasi Manusia (HAM) dan memenuhi hak pemberdayaan pengungsi luar negeri di Indonesia. Ketika kesamaan persepsi tersebut tercapai, dapat dipetakan problematika, peluang, dan tantangan dalam memenuhi hak pemberdayaan para pengungsi tersebut. Kemudian, dapat dicari potensi strategi pemberdayaan pengungsi yang relevan.

Indonesia sebagai negara dengan letak geografisnya yang strategis menjadi tempat bertemu banyaknya pergerakan manusia dari berbagai tempat, termasuk pengungsi yang datang ke Indonesia dengan tujuan menuju negara ketiga. Kebijakan penanganan para pengungsi luar negeri menjadi penting ketika mereka transit di Indonesia. Diperlukan dukungan segala pihak mulai dari pemerintah, organisasi non pemerintah, kerja sama internasional, dan segenap lapisan masyarakat demi tercapainya pemberdayaan para pengungsi tersebut.

Walaupun Indonesia bukanlah negara pihak dari Konvensi Internasional dan Protokolnya tentang pengungsi dari luar negeri, tetapi Indonesia merupakan negara pihak dari hampir semua konvensi HAM Internasional, termasuk konvensi hak ekosob yang merupakan elemen-elemen hak atas kehidupan minimum yang layak, yang seharusnya dijamin oleh negara.

Indonesia memberikan komitmennya untuk pemberdayaan pengungsi luar negeri di Indonesia dengan upaya burden sharing dan share responsibility yang telah disampaikan pada saat Global Refugee Forum 2019. Untuk itu, penting bagi Indonesia untuk berkomitmen kuat dalam menunjukkan reputasinya pada dunia internasional dalam pelaksanaan HAM yang melekat pada setiap manusia, termasuk kepada para pengungsi. Mereka memiliki hak atas pendidikan, jaminan sosial, pangan, pekerjaan, tempat tinggal, pakaian, kesehatan, sanitasi, lingkungan sehat, serta memiliki hak atas informasi dan interaksi dengan masyarakat lokal dan budayanya.

Lantas, sejauh mana pemenuhan hak-hak tersebut dapat diberikan? Bukankah hal tersebut akan membebankan negara? Paradigma dalam memberikan pemenuhan hak-hak tersebut perlu dilihat dengan pendekatan, “kenapa tidak”. Maka, jika melihat dari hal tersebut, tidak ada alasan untuk tidak memberikan hak secara penuh dan maksimal kepada para pengungsi.

Meski Indonesia memiliki Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Dari Luar Negeri, hal yang menjadi sandungan adalah belum adanya peraturan yang rinci sebagai acuan hukum untuk pemenuhan kebutuhan hak untuk memberikan pekerjaan bagi pengungsi. Perlu adanya kebijakan baru yang lebih konkrit secara rinci turunan dari berbagai peraturan yang mengatur pengungsi luar negeri di Indonesia.

Diperlukan panduan lintas instansi untuk memastikan pemenuhan dan perlindungan terhadap pengungsi. Hal ini agar secara maksimal dapat dilakukan oleh berbagai pihak secara sinergi berbagi peran sesuai dengan tugas dan fungsinya. Kerja sama dengan pihak internasional juga dapat dilakukan dengan salah satu bentuknya adalah sponsorship negara tujuan ketiga.

Sinergi tidak hanya dibangun oleh kementerian/lembaga dengan organisasi internasional tetapi juga perlu peran pemerintah daerah. Ini karena pendekatan kearifan lokal dinilai penting sebagai salah satu strategi dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan spesifik para pengungsi, khususnya bagi perempuan dan anak-anak. Harapannya mereka dapat mencapai kemandirian secara lokal, tidak mengalami konflik dengan masyarakat lokal, dan masyarakat tidak resisten terhadap para pengungsi.

Perlu adanya langkah konkrit untuk pemenuhan hak mereka di level kebijakan dan peraturan yang jelas berspektif gender. Tujuannya agar pemerintah dapat mengimplementasikan secara jelas serta mencegah berbagai hal yang tak diinginkan, seperti Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Disamping itu, perlu kejelasan hak dan bentuk pekerjaan apa saja yang dapat diberikan kepada mereka.

Program pemberdayaan dari pemerintah daerah dapat memenuhi prinsip-prinsip dasar dalam hak pengungsi, di antaranya hak atas pendidikan membuat pengungsi lebih berdaya dan hak atas pekerjaan. Prinsipnya agar para pengungsi dapat dilatih kemampuannya untuk dapat lebih produktif sehingga memudahkan kehidupan mereka di masa depan.

Pengungsi yang berdaya, yang memiliki keterampilan dari pemenuhan hak atas pendidikan yang telah diberikan, akan memiliki banyak opsi yang dapat mereka pilih. Dengan produktif, mereka memiliki kemampuan untuk menghidupi dirinya secara mandiri. Pilihan untuk dapat kembali ke negara asalnya juga terbuka dengan kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Serta, dengan memiliki keterampilan tertentu mereka akan lebih mudah menuju negara ketiga. Pada dasarnya pengungsi yang dapat mandiri dan bertanggung jawab atas dirinya sendiri dalam penghidupannya tidak akan membebani negara.

Di mana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Pemberdayaan kepada pengungsi tersebut bukan berarti pengungsi tidak dapat ditindak jika melakukan pelanggaran hukum. Selama berada di Indonesia, para pengungsi tetap tidak dikecualikan dari hukum yang berlaku di Indonesia. (RBA/Ed: And)