Jakarta – Humas BRIN. Ternyata, kisah Brang Wetan berdasarkan Babad Alit dan Babade Nagara Patjitan, bukan hanya menyajikan sejarah Ponorogo dan Pacitan. Melainkan juga, seluruh Madiun Raya bahkan sampai ke Surakarta, Trenggalek, Kediri hingga Pajajaran di Jawa Bagian Barat. Sejarah mengenai kisah tersebut diulas para periset BRIN dalam sebuah diskusi budaya.

Senin (17/04), BRIN dimotori Pusat Riset Masyarakat dan Budaya (PMB) , Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (OR IPSH) menyelenggarakan Forum Diskusi Budaya seri 54 pada Senin (17/04). Tema yang diangkat kali ini yaitu “Kisah Brang Wetan berdasarkan Babad Alit dan Babade Nagara Patjitan”.

Sebagai pembuka, Moderator, Abdul Karim selaku Peneliti BRIN mengatakan, forum diskusi ini diselenggarakan rutin secara daring. Pada kegiatan kali ini, diisi dengan pembahasan buku sebagaimana tema diangkat dengan menghadirkan para pakar di bidang kesejarahan, yaitu Sejarawan Aklis Syamsul Komar dan Nunus Supardi.

Aklis Samsul Komar mengurai, kisah Brang Wetan berdasarkan babad Alit ditulis tahun 1911 sedangkan menurut Babade Nagara Patjitan ditulis sekira tahun 1924. Di satu sisi, Aklis memprihatini, bahwa sekira 90% jurnal tentang Indonesia, termasuk Brang Wetan, justru dilanjutkan penulisannya oleh orang asing, bukan orang lokal tanah air.

”Bagaimana kita tahu dan berkaca soal keindonesiaan, kalau kajian terkait Indonesia justru dilakukan orang luar. Hal ini tentu sedikitnya akan bias pandangan dunia pendidikan luar terhadap negara Indonesia,” ungkap Aklis. Nah, menurutnya, di sini diperlukan adanya sebuah kesungguhan dari para peneliti sejarah lokal untuk memulai mengawali tulisan penelitian terkait sejarah lokal. Sebab, untuk menulis sejarah lokal negara sendiri, Tentu yang lebih paham terkait sejarah itu adalah orang lokal itu sendiri.

Aklis lantas mengimbuhkan informasi, pada masa Islam saat itu, ketika lahirnya javaneologi, pemerintah kolonial Belanda berusaha memisahkan ideologi keislaman dengan kehidupan masyarakat pribumi, khususnya Jawa. ssehingga dampaknya memunculkan Jawa yang tidak begitu menonjolkan sisi-sisi keislaman dalam kesehariannya, baik dari salat, puasa, dan sebagainya.

Sementara sang pemerhati budaya, Nunus Supardi, dalam ulasannya, ia menambahkan informasi untuk melengkapi paparan Aklis. Sudut pandangnya, berkenaan dengan buku tersebut yang dikisahkan, di mana tiba-tiba muncul masyarakat Indonesia yang ingin mencoba menelusuri awal cerita sebagai bagian penting dari penggambaran sejarah Ponorogo dan Pacitan.

Nunus merasa, masih banyak masyarakat yang belum tahu Wilayah Brang Wetan. ”Di sini lah peran kita ditunjukkan untuk menjelaskannya, terutama kaitannya dengan sejarah Mataram,” jelas Nunus. Lebih lanjut ia menerangkan adanya kesepakatan antara Belanda dengan Surakarta yang melahirkan perjanjian Gianti (13/2/1755). Dengan perjanjian ini, yang akhirnya memecah kerajaan menjadi dua, yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Bahkan, wilayah eks Karesidenan Madiun juga pecah menjadi dua Kasunanan Ponorogo, yaitu Jogorogo ( Ngawi) dan setengah Pacitan. Sementara wilayah Kasultanan berupa Madiun, Caruban, Magetan, dan setengah Pacitan. Ada juga wilayah lain yang termasuk dalam Brang Wetan atau Mataraman adalah Ngawi, Madiun, Magetan, Ponorogo, Pacitan, Trenggalek, Tulungagung, Kediri, Nganjuk, Blitar, dan Blambangan.

Kemudian Nunus menjelaskan riwayat dua babad, yaitu babad Alit Ponorogo dan babade Nagara Pacitan. Baginya, selama ini buku kisah tersebut ada di Perpustakaan Universitas Laiden. Ini dikisahkan oleh Ong Hok Ham dalam disertasinya yang telah mengutip dua babad tersebut. Diuraikan Nunus, berkat budi baik Prof. Dr. Peter Carey, Salinan buku kedua babat ini sudah diserahkan pemerintah Belanda kepada Pemerintah Republik Indonesia. ”Berkat perjuangan orang-orang untuk mendapatkan Salinan tersebut, maka kedua babad tersebut sudah menjadi satu buku dengan judul ”Kisah Brang Wetan”.

Selama ini, Babad Alit Ponorogo dan Babade Nagara Patjitan tidak pernah disebut atau dikutip orang karena memang diterbitkan dalam bentuk buku. Juga, Buku Babad Ponorogo karya Poerwowidjojo yang diterbitkan tahun 1985 dengan cerita sejumlah 8 jilid, tidak menyebut Babad Alit Ponorogo sebagai sumber bacaan. (NJ/ed:And)