Jakarta – Humas BRIN. Bagi sebagian besar orang, isu tentang “Redefinisi Keintiman” belum banyak diteliti atau ditekuni. Penulis melihatnya berbeda, yaitu terkait pada human relations. Isu ini tidak hanya menarik dari sisi personal di mana kita yang memiliki pasangan bagi yang telah menikah atau belum menikah, ataupun hubungan antar kolega atau kawan lainnya. Hal tersebut disampaikan Kepala Pusat Riset Masyarakat dan Budaya (PRMB) BRIN, Lilis Mulyani dalam sambutannya pada webinar Forum Diskusi Budaya (FDB) Seri-57 dengan tema “Redefinisi Keintiman: Dibalik Perselingkuhan Kaum Urban” di Jakarta, Senin (08/05).
Lilis mengutarakan, seringkali keintiman didefinisikan terlalu sempit hanya terpaku pada pasangan yang menikah atau tidak menikah. Padahal keintiman juga dapat digunakan sebagai bentuk komunikasi antar dua orang atau individu lainnya. Lilis menambahkan, bagaimana komunikasi ini dapat dikembangkan sebagai salah satu bentuk keterbukaan, saling berbagi, saling percaya, saling menghargai satu sama lain dalam bentuk-bentuk yang bisa diungkapkan dalam refleksi kecintaan dan komitmen.
“Keintiman bentuk lainnya ini bisa juga dengan kolega, kawan, dan sahabat. Buku ini penting meredefinisikan juga dikalangan kaum urban. Hal ini membuktikan bahwa riset adalah sebuah dunia yang yang tak terbatas, sepanjang kreativitas kita/manusia masih ada, fakta apapun bisa dijadikan sebagai riset,” ujarnya.
Dian Arymami selaku Dosen/Pengajar di Universitas Gadjah Mada dalam paparannya mengutarakan bahwa penelitian ini butuh waktu yang cukup panjang dari tahun 2017 hingga 2023. Buku ini dari awal tidak menggunakan kata perselingkuhan karena kata tersebut berkonotasi negatif. Hubungan intim tersebut kenapa bisa berjalan, relasi keintiman selalu bergeser, hal yang paling mudah misalkan di medsos dahulu dikenal dengan istilah Teman Tapi Mesra (TTM), tapi sekarang Friends with Benefit (FWB). Fenomena ini menggambarkan adanya geseran-geseran relasi dan sangat sedikit terkait geseran tersebut. Sisi yang menarik adalah sosok-sosok yang terlibat dalam pergeseran relasi dan ditentang serta dibicarakan oleh masyarakat dalam bentuk anomali.
Dian berkata, relasi dan cinta itu sendiri mengambil porsi kehidupan manusia yang sangat besar, cinta dapat mengubah tatanan ekonomi itu sendiri. Hal yang sangat menonjol adalah bagaimana relasi-relasi “gelap” yang tidak diterima/disukai oleh masyarakat itu sendiri, sebetulnya stigma oleh masyarakat cukup diskriminatif seperti penggerebekan hotel yang terjadi pada kelas melati bukan kelas yang lain dan ada sanksi sosial yang muncul.
Lebih jauh Dian mengatakan, “Riset ini melihat bagaimana orang-orang yang melangsungkan atau relasi-relasi yang dianggap tidak normal ini bisa mereka jalankan. Apa sih yang mereka maknai terkait relasi pada keintiman? Dan bagaimana mereka mendefinisikan dirinya dan relasinya di stigma yang luar biasa, dan cinta itu sendiri, serta diri mereka seperti apa?” Lebih jauh, harapannya dengan penelitian ini adalah memahami pergeseran-pergeseran semacam ini sehingga kita bisa membaca lebih lanjut dinamika interaksi di masa depan.
Relasi percintaan atau keintiman adalah sebuah elemen entitas yang sangat menarik karena tepat berada antara penghubung konteks sosial dan konteks personal, diri tidak lepas dari ranah kepentingan dan tuntutan sosialnya. Diri memiliki hasrat, keinginan, harapan-harapan tertentu dan kepribadian yang unik di ranah yang personal. “Relasi keintiman ini menjadi jembatan yang lebih baik karena melihat interkoneksi,” pungkasnya. (suhe/ed:Sgd)