Jakarta – Humas BRIN. Pusat Riset Politik (PRP), Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (OR IPSH) kembali menggelar workshop daring seputar pemberdayaan pengungsi yang kali ini bertajuk “Upaya Pemberdayaan Pengungsi Luar Negeri secara Mandiri dan Akses Lembaga Keuangan” pada Selasa, (05/23). Kegiatan yang memasuki rangkaian seri ke 5 ini merupakan hasil kolaborasi PRP BRIN dengan Direktorat Jenderal HAM – Kementerian Hukum dan HAM (KemenkumHAM), United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), Jesuit Refugee Services (JRS), International Organization for Migration (IOM), dan Resilience Development Initiative Urban Refugee Research Group (RDI-UREF).
Kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran potensi kebijakan dan pemberdayaan pengungsi luar negeri oleh berbagai Kementerian/Lembaga di Indonesia, identifikasi kebijakan dan akses serta potensi ke Lembaga keuangan bagi pengungsi luar negeri di Indonesia, dan memetakan tantangan dan hambatan yang dihadapi dalam upaya pemenuhan pemberdayaan dan akses terhadap Lembaga keuangan bagi pengungsi luar negeri di Indonesia.
Diawali dengan salam pembuka dari Ria Adryani, selaku Livelihood and Economic Inclusion Associate UNHCR, workshop ini menghadirkan pembicara yaitu Asisten Deputi Bidang Pembiayaan dan Investasi UKM Kementerian Koperasi dan UKM (KemenkopUKM), Temmy Satya Permana yang diwakilkan oleh stafnya, Tengku Perdana. Kemudian Direktur Perlindungan Sosial Korban Bencana dan Non Alam, Kementerian Sosial (Kemensos), Mira Riyanti Kurniasih yang diwakilkan oleh staffnya, Hosea. Lalu Assistant Protection Officer UNHCR, Hendrik Therik, Direktur Finance & Business Planning Bank Sahabat Sampoerna (BSS), Henky Suryaputra. Pembicara terakhir adalah Kepala Departemen Pengaturan dan Pengembangan Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Anung Herlianto yang diwakilkan oleh kedua staffnya, yaitu Nursantyo dan Nelson Siahaan. Secara berurutan bertindak sebagai moderator, pembahas, dan penutup yaitu Dea J. Ismail dari National Program Officer IOM Indonesia, Randy Wirasta Nurmantya dari Universitas Gadjah Mada, dan Rizka F. Prabaningtyas dari Peneliti PRP BRIN.
Disebutkan, pengungsi yang datang ke Indonesia untuk transit sebelum menuju negara ketiga jika dilihat secara sosial ekonomi cukup beragam. Berdasarkan data dari UNHCR per Juni 2021, populasi pengungsi luar negeri di Indonesia memiliki jumlah total mencapai 13.416 orang. Mayoritas dari mereka adalah pengungsi dari negara asal yang mengalami konflik, seperti Afghanistan, Somalia, Iraq, dan lainnya.
Berdasarkan data tersebut, 73% dari jumlah pengungsi luar negeri merupakan usia produktif. Sehingga, pemberdayaan pengungsi luar negeri melalui strategi pengembangan pemberdayaan dan akses keuangan inklusif sangat memiliki potensi besar untuk mewujudkan pengungsi luar negeri mencapai kemandirian dan resiliensi.
Melalui program Koperasi dari KemenkopUKM, pengungsi luar negeri dapat menjadi anggota luar biasa dimana mereka mendapatkan akses keuangan dan kewirausahaan bersama-sama dengan WNI. Koperasi dapat memiliki anggota luar biasa yang persyaratan hak dan kewajiban keanggitannya ditetapkan dalam Anggaran Dasar sesuai pada Pasal 18 Undang-Undang Nomor 25/1992.
Ketentuan tersebut memberi peluang bagi penduduk Indonesia yang bukan merupakan warga negara untuk dapat menjadi anggota luar biasa dari suatu Koperasi sepanjang memenuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pengungsi tersebut akan mendapatkan berbagai keuntungan yang dimiliki sebagai anggota Koperasi seperti menampung dan menjual barang mereka sendiri, dapat lebih familiar akan program dan peran dinas daerah dalam pelatihan dan kewirausahaan, anggota koperasi juga berpeluang mendapatkan sisa hasil usaha dari Koperasi.
Selain hal pemenuhan kebutuhan hidup, pengungsi luar negeri yang datang ke Indonesia juga rentan akan kesehatan mental mereka. Hasil studi kolaborasi Universitas Gadjah Mada, Universitas New South Wales, SUAKA, dan HOST International mengungkapkan, hanya 18% dari 1235 pengungsi yang menjadi partisipan survei memiliki mata pencaharian untuk mendapatkan uang. Sedangkan sebesar 42% memiliki akses kepada layanan keuangan.
Kondisi kesehatan mental mereka juga mengalami gangguan yang diakibatkan oleh kesulitan dalam mencari pekerjaan, kekhawatiran status visa yang tidak menentu, tidak memiliki uang yang cukup untuk memenuhi kebutuhan, kesulitan dalam mengakses bantuan, dan kesulitan memenuhi kewajiban keuangan untuk keluarga di negara asal.
Hanya 9% dari pengungsi yang memiliki akses pekerjaan, edukasi, sekaligus finansial. Pengungsi yang dapat berbahasa Indonesia dan berpendidikan lebih tinggi memiliki kesempatan yang lebih besar dalam mengakses mata pencaharian. Kemudahan akses mendapatkan mata pencaharian dan akses pendidikan ternyata berpengaruh besar kepada tingkat kesehatan mental para pengungsi luar negeri.
Dengan perspektif pengungsi luar negeri sebagai korban bencana sosial, Kemensos memberikan layanan dukungan psikososial (LDP) disamping bantuan kebutuhan dasar yang merupakan bagian dari manajemen risiko bencana, dengan tujuan untuk mencegah masalah sosial baru. LDP merupakan serangkaian aktivitas dalam upaya memberikan dukungan informasi, pendampingan sosial, asesment, solusi atau intervensi/therapi awal, atau aksesibilitas layanan lanjutan terhadap individu yang terkena bencana yang bertujuan memulihkan kesejahteraan psikologis dan sosial.
Praktik Baik Pemberian Akses Keuangan bagi Pengungsi Luar Negeri di Indonesia
Inklusi keuangan merupakan penyediaan akses ke berbagai layanan dan produk keuangan yang aman, nyaman, berkualitas, dan terjangkau untuk kelompok rentan/kurang beruntung yang dikecualikan dari sektor keuangan formal. Ini merupakan komponen pentng untuk memberikan perlindungan, peningkatan harga diri, resiliensi, dan kemandirian pengungsi luar negeri. Namun, tidak sedikit pengungsi yang datang ke Indonesia dengan dokumen identitas yang tidak lengkap.
Merujuk pada panduan identitas digital Financial Action Task Force 2020 (FATF 2020), dalam hal pengungsi, bukti identitas resmi juga dapat diberikan oleh organisasi yang diakui secara internasional dengan mandat tersebut. Hal ini dapat menjadi basis mengatasi halangan regulasi dan mempromosikan akses pengungsi ke layanan keuangan.
Dibeberapa negara, pengungsi dapat memperoleh layanan keuangan melalui bantuan data dokumen dari UNHCR. Disampaikan pada workshop ini, dengan bantuan dokumen UNHCR pengungsi di Jordania dapat mengakses layanan perbankan seluler, kemudian pengungsi di Rwanda dan Uganda dapat membuka rekening bank. Selain itu, dokumen UNHCR tersebut juga dapat digunakan dalam registrasi kartu SIM untuk telepon seluler.
Kondisi inklusi keuangan untuk pengungsi luar negeri di Indonesia saat ini masih terbatas. Tantangan utamanya adalah, pengakuan dokumen UNHCR sebagai identitas yang sah untuk akses layanan keuangan masih belum diakui secara luas. Saat ini hanya terdapat satu bank yang menjadi penyalur bantuan tunai dari IOM. Pengungsi dapat mengambil dana tersebut menggunakan kartu debit yang diterimanya. Walaupun dengan segala pembatasan, cara seperti ini dianggap lebih mudah dalam hal pemantauan dana sehingga meminimalisir risiko penyalahgunaan dana bantuan.
Terlebih, transformasi digital pada sektor jasa keuangan di masa kini dapat dimanfaatkan untuk mempermudah akses terhadap lembaga keuangan. Syarat pembukaan rekening digital yang memerlukan identifikasi dan verifikasi calon nasabah dapat dengan mudah memanfaatkan data kependudukan dan imigrasi. Akses lembaga keuangan dapat diberikan kepada pengungsi dengan syarat status kepemilikan rekening pada pihak berwenang, yaitu pengungsi berstatus pemilik manfaat.
Dari segi regulasi, diperlukan peraturan yang jelas yang mengatur sejauh mana dokumen pengungsi bisa digunakan untuk mengakses layanan keuangan maupun kebutuhan dasar lainnya dan aspek kesetaraan layanan dengan WNI. Karena dengan tercapainya inklusi keuangan bagi para pengungsi luar negeri, hal tersebut dapat digunakan untuk mendapatkan akses peningkatan pendidikan, keahlian, bahkan usaha untuk meningkatkan kemandirian dalam taraf hidupnya. (RBA/ed:And)