Jakarta – Humas BRIN. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyelenggarakan Diskusi dan Bedah Buku ASEAN Maritime Security: The Global Maritime Fulcrum in the Indo-Pacific yang dilaksanakan secara hybrid di Kantor Kawasan Sains Sarwono Prawirohardjo BRIN Gatot Subroto, Jakarta, Rabu (7/6).
Deputi Bidang Fasilitasi Riset dan Inovasi BRIN, Agus Haryono, dalam sambutannya mengatakan, proyeksi atas visi maritim Indonesia telah digagas sejak awal kepemimpinan Presiden Joko Widodo melalui Poros Maritim Dunia. “Poros Maritim Dunia bertujuan menjadikan Indonesia sebagai negara maritim yang besar, kuat, dan makmur melalui pengembalian identitas Indonesia sebagai bangsa maritim, pengamanan kepentingan dan keamanan maritim, serta memberdayakan potensi maritim untuk mewujudkan pemerataan ekonomi Indonesia,” ucapnya.
Pembangunan sektor maritim bukan saja agenda bidang ekonomi, melainkan juga politik. Keberadaan “Poros Maritim Dunia” menjadi visi yang menandai perubahan haluan pembangunan di Indonesia. Maka, Agus menegaskan, bukan hanya untuk mencapai tujuan pembangunan di level nasional, namun mencapai posisi signifikan dalam percaturan geopolitik sebagai sebuah “poros” dalam skala global.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora ( OR IPSH), Ahmad Najib Burhani mengatakan, kepulauan Indonesia tersebar di ribuan pulau dan sekitar 65% wilayah Indonesia yang terdiri dari perairan, yang membuat Indonesia disebut sebagai negara maritim. “Indonesia masih mengalami tantangan dalam konektivitas dan memiliki infrastruktur pelabuhan yang belum memadai. Indonesia juga mengalami permasalahan eksploitasi sumber daya laut dan penangkapan ikan secara ilegal,” ungkapnya. Menanggapi situasi ini, ia menjelaskan, pemerintah Indonesia, khususnya di bawah pemerintahan Jokowi, telah menempatkan pengamanan batas laut dan membangun konektivitasnya sebagai prioritas utama.
Lebih jauh Najib mengutarakan, dalam konteks tantangan domestik, untuk mewujudkan visi maritim secara penuh, Indonesia tidak memiliki kemampuan yang memadai, seperti untuk berpatroli di wilayah maritim yang luas. Realisasi GMF menghadapi tata kelola keamanan maritim yang berantakan seperti tumpang tindih kewenangan dan kurangnya koordinasi antar lembaga. Sedangkan dalam tantangan eksternal adalah persaingan kekuatan besar, terutama antara AS dan China. Letak geostrategis Indonesia menempatkannya sebagai pemain utama di kawasan Indo-Pasifik. Indonesia akan menjadi wilayah kepentingan negara-negara seperti India, China, dan AS.
Najib berkata, Indonesia perlu berperan dalam kepemimpinan ASEAN dan bekerja sama dengan mitra untuk memastikan bahwa kawasan ini bisa tetap damai. Untuk tujuan ini, “Indonesia harus mempertimbangkan untuk menyusun kebijakan bersama dengan tetangga terdekat, guna mendorong kebijakan bersama ASEAN mengenai isu-isu penting yang strategis,” pungkasnya.
Dalam laporannya, Plt. Direktur Repositori, Multimedia, dan Penerbitan Ilmiah (RMPI), Ayom Widipaminto mengurakan, melalui kegiatan ini diharapkan BRIN memperoleh beragam perspektif akademis maupun praktis mengenai peran strategis Indonesia di ASEAN.
Ditargetkan juga, dengan kegiatan tersebut bisa memberikan manfaat dalam penyusunan kebijakan terkait keamanan wilayah maritim, kerja sama luar negeri dalam kerangka ASEAN, juga visi Poros Maritim Dunia. Bedah buku dipandu langsung oleh Peneliti Pusat Riset Politik (PRP) BRIN, Humphry Wangke. Ia memandu pemaparan pembicara yang terlibat dalam penyusunan buku tersebut yaitu para peneliti PRP, Tri Nuke Pudjiastuti dan Faudzan Farhana. Bedah Buku ini menghadirkan para penanggap yaitu Aleksius Jemadu dari Universitas Pelita Harapan dan Laksamana Muda Antongan Simatupang selaku Staf Ahli Bidang Kedaulatan Wilayah dan Kemaritiman di Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam). (suhe/ed:And)