Jakarta – Humas BRIN. Peradaban suatu masyarakat mempunyai ciri khas yang menjadi penanda suatu budaya, dimana terjadi interkasi saling memengaruhi antara lingkungan dan fenomena budaya. Oleh karena itu, dengan memelajari fenomena yang ada, maka peradaban di daerah tertentu biasanya dapat ditelusuri.
Peradaban Matano di Sulawesi Selatan dianggap sebagai peradaban logam/besi yang hilang. Mengungkap peradaban Matano merupakan bagian dari upaya penguatan kebhinekaan. Demikian diungkapkan Triwurjani, Ketua Tim Penelitian “Mengungkap Kebudayaan Besi di Kawasan Danau Matano, Sulawesi Selatan”, yang disampaikan dalam Seminar Riset Desain, Selasa (8/3), yang diselenggarapan Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (OR IPSH), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
“Kajian arkeologi di Danau Matano, menunjukan bahwa masyarakat Danau Matano telah melakukan aktivitas pengolahan besi dari proses penambangan, peleburan hingga menjadi produk akhir. Diduga, Kawasan Danau Matano merupakan sebuah industri besi kuno yang berlangsung dari awal masehi,” ungkap Triwurjani.
Namun menurutnya, data yang tersedia belum cukup untuk menjelaskan tentang peradaban Matano secara utuh. Penelitian arkeologi bawah air di lingkungan danau juga belum banyak dilakukan di Indonesia maupun di Asia, hal ini dapat menjadi terobosan baru dalam studi arkeologi. Triwurjani mengatakan, penelitian ini akan dilakukan di bawah air Danau Matano dan juga akan dilakukan di lingkungan terestrial/daratnya untuk melengkapi data arkeologi.
Lebih lanjut dijelaskannya bahw tujuan dan sasaran penelitian yang akan dicapai adalah mendapatkan informasi melalui data arkeologis, mengenal awal perkembangan kebudayaan zaman besi di Kawasan Danau Matano guna merekonstruksi inovasi metalurgi nenek moyang di Indonesia, serta memberikan pengetahuan pengolahan logam kuno (besi dan nikel) oleh masyarakat Danau Matano pada masa lalu.
Melalui penelitian ini, peneliti diharapkan mengetahui transformasi data arkeologi, kronologi, atau pertanggalannya pada data arkeologi yang berada di kawasan Danau Matano. Selain itu, mengetahui cara pelestarian potensi arkeologi bawah air di Danau Matano.
“Hasil dari penelitian ini diharapkan menjadi landasan kebijakan bagi pemerintah daerah dan stakeholder lokal lainnya untuk pembangunan daerah. Harapan lainnya, dapat melestarikan peninggalan budaya masa lalu dari peradaban budaya besi di wilayah Danau Matano,” ungkapnya.
“Ke depan, hasil penelitian ini juga diharapkan menjadi bagian dari kurikulum pendidikan dasar dan menengah untuk muatan sejarah lokal. Hal itu penting, dalam rangka menumbuhkan identitas dan nilai kebangsaan serta kepribadian jati diri bangsa,” paparnya.
Danau Matano adalah sebuah danau Tetonik dengan ukuran panjang 28 kilometer dan lebar 8 kilometer di Sulawesi Selatan, tepatnya berada di ujung timur provinsi Sulawesi Selatan, berbatasan dengan Sulawesi Tengah. Danau ini berada sekitar 50 km dari Kota Malili (Ibukota Kabupaten Luwu Timur). Danau Matano merupakan danau terdalam di Asia Tenggara dengan kedalaman hingga 590 meter dan berada di ketinggian 300 meter dari permukaan air laut. Danau Matano menyandang predikat danau terdalam di Indonesia. Worldatlas.com menempatkan Danau Matano sebagai danau terdalam ke-12 di dunia dengan kedalaman 1936 kaki atau 590 meter, 40 meter lebih dalam dibandingkan dengan Danau Toba di Sumatera Utara. Danau Matano adalah satu dari tiga danau yang ada di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Lokasi ini banyak menyimpan cerita sejarah dan juga daya tarik akan keindahan panorama alam. (ar/ed: drs)